Posted in Media
Oleh : Alida Wahyuni Rusdi
SEMBILAN cerita pendek dalam Buntelan (Q Publisher, Juli 2006), buku terbaru yang ditulis A Badri AQ T, memberi peluang bagi hadirnya dialog segar tentang tubuh, eksistensi perempuan, ataupun relasi gender. Soal-soal ini jelas bukan barang baru dalam khazanah cerpen Indonesia. Terutama bila kita menimbang bahwa para penulis perempuan yang jumlahnya terus bertambah, semakin berani menulis soal perempuan dan penyimpangan seksual, dengan semangat merontokkan dominasi kaum adam di wilayah kehidupan rumah tangga, juga di tengah masyarakat luas.
Nama-nama seperti Ayu Utami, Djenar Maesa Ayu, Mariana Amiruddin, Laksmi Pamuntjak, Ucu Agustin, dan Maya Wulan merupakan nama-nama yang tidak asing dalam konteks ini. Di kalangan penulis lelaki, Badri juga bukan nama baru yang menunjukkan pemihakannya pada perempuan. Tapi lewat sembilan cerpennya dalam Buntelan, terlihat bagaimana ia tidak larut ke dalam slogan-slogan kosung bahwa perempuan adalah jenis manusia vang haknva dalam konstruksi sosialharusdibela habis-habisan. Badri justru menempatkan tokoh dalam cerita-ceritanya begitu rupa, sampai terpahami bahwa lelaki selalu lemah menghadapi kenyataan hidupnya tanpa perempuan.
Dalam koteks ini, Badri secara implisit seperti ingin menegaskan bahwa kaum perempuan tidakperlu dibela habis-habisan oleh kaum lelaki, tetapi cukupmenjela,kan kenvataanhidup lelaki secara jujur. Ini saja sudah ~cukup menjawab, relasi perempuan dan lelaki merupakan relasi yang tidak bisa saling meniadakan satu sama lainnva. Seperti dalam cerpen Sepasang Bola Mata yang Ditinggalkan di Sisi Meja Rias. Dalam cerpen ini dikisahkan bagaimana Aku harus hidup pontang-panting mengurusi perkembangan dua anaknya, Santo dan Santi. Istriya yang pergi entah ke mana, hanya meninggalkan dua bola matanya seukuran gundu, menjadi satu pukulan berat bagi Aku. Ia harus mampu membangun omong kosong di hadapan kedua anaknva yang terus tumbuh besar.
Maka sang Aku selalu saja berkisah bahwa sang Ibu sedang bekerja di Arab Saudi sebagai tenaga kerja wanita (TKW). Ini mungkin sekadar alasan di hadapan anak yang mudah dikelabui. Tapi, bagaimana Aku sendiri bisa menuntaskan kesepian tanpa istrinya adalah hal yang bagi pengarang tak ada jawabannya. Tokoh Aku di sini selalu berurai air mata setip kali menatap dua bola mata istrinya. Kesepian terus menikamnya, tanpa tahu ia harus berbuat apa selain bermimpi dan berbohong.
"Aku tak tahu, apakah barusan aku tidur atau tidak. Pikiran dan perasaanku benar-benar sedang terbelah. Untuk menjaga keselarasan komunikasi dengan kedua anakku, perlahan aku tersenyum sambil membuka kelopak mataku seperti orang sedang mengintip sesuatu. Kedua anakku melepas tawa dari kelucuan yang aku buat buat." (hlm.11)
Kelemahan lelaki lebih miris lagi dituliskan Badri secara ilustratif, seperti terjadi dalam cerpen berjudul Matinya Elang di Ranggas Randu. Pertama-tama Badri mengilustrasikan lelaki layaknya burung elang yang terbang tinggi di angkasa dan nemplok di dahan pohon randu sambil menebar ancaman bagi mangsanya, termasuk burung pipit yang diilustrasikan di sini sebagai perempuan.
Namun dalam kisahnya, si Aku (burung pipit) yang berusia dua puluh tahun ini terus saja menimbang apakah ia harus menerima cinta lelaki berusia empat puluh dua tahun, mirip dengan usia bapaknya sendiri. Kisah cinta terus berjalan antara dua insan yang berjarak usia jauh ini. Lelaki tua terus memaksa agar bisa menikahi perempuan itu. Di sisi lain, sang perempuan belum mau memutuskan, sebab ia masih mau menjalani masa indah pacaran. Lelaki tua merasa kehabisan langkah. Perempuan muda tetap pada pendiriannya. Hingga suatu ketika, secara ilustratif kita menjadi paham bahwa cinta bagi perempuan tetap tidak bisa dipaksakan oleh sesuatu di luar dirinva. "Paginya aku terbangun. Kubuka jendela kamar, matahari menerpa dengan suasana kehangatan, dan bersamaan dengan itu hatiku berdegup. Jarak pandang pertama yang selalu mengarah pada tegar berdirinya pohon randu dengan rentangan dahan begitu indah bagi mata hatiku, kali ini kudapati meranggas tanpa kehijauan dedaunan lagi. Tidak seperti pagi-pagi sebelumnya. Di dahan tak terlalu tinggi itulah, kudapati seekor burung elang mati kaku." (hlm 65)
Lebih menarik lagi sebagaimana terlukis dalam cerpen berjudul Buntelan. Judul cerpen yang kemudian diangkat sebagai judul buku ini, memang tampak memiliki keunikan narasinya. Bisa dikatakan di sini, cerpen Buntelan terdiri dari tiga sudut pandang dan tersusun dalam komposisi yang beraturan. Perspektif pertama dari Aku, dalam hal ini lelaki yang berhasil menerapkan strategi seksualnya demi memuaskan nafsu sesaat. "Begitulah. Tanpa aku harus menunggu suara tokek, yang menghitung-hitung di suara akhir untuk melakukan atau tidak melakukan, tak kupedulikan lagi itu semua. Maka, sebagaimana yang kuingin-ingini, sebegitu saja kupetik sari perempuan yang semalam tidur bersamaku. Aku tak peduli, apakah perempuan itu menikmati seperti apa yang kunikmati dalam petualangan asmara yang tak tertahankan lagi." (hlm 29-30) Perspektif kedua dari Aku, dalam hal ini perempuan yang dipetik sarinya namun melakukan pemberontakannya sendiri. "Begitu pun air mataku, air mata seorang perempuan yang menjerit hatinya, taklagi berfaedah keluar di sela-sela kelopak mataku. Lantas untuk apa bila lautan surgawiku ini hanya jadi impian lelaki nakal yang ingin menyalurkan hasrat-hasrat kelelakiannya, lantaran aku mau tidur di sisimva." (him 37-38) Perspektif ketiga dari Dia, narator yang berusaha menghamparkan dua perspektif berlawanan dari peristiwa persemaian cinta persetubuhan dan pemberontakan yang terjadi antara seorang lelaki dan seorang perempuan, yang sebelumnya telah dibebaskan membangun perspektifnya masing-m asing.
Cerpen-cerpen yang ditulis Badri memang menampilkan tokoh-tokoh yang pada gilirannya menukik pada pencitraan perempuan modern. Karena itu, sosok perempuan yang tegar di atas langkahnya selalu terjadi di sana-sini. Tokoh-tokoh perempuan yang hadir dalam cerpen-cerpen Badri, dengan kata lain, merupakan tokoh-tokoh yang sudah menganggap usang bahwa kaum lelaki adalah golongan manusia yang harus selalu dipuja dan ditakuti. Sebaliknya, tokoh-tokoh cerpen di situ malah saling menginsyafi keniscayaan gender, agar dapat menerangi kehidu.pan dunia ini dengan damai, cinta, dan saling pengertian.
Akhirnya, kaum lelaki tak perlu membela kaum perempuan, juga sebaliknya, bila hanya melahirkan pahlawan kesiangan. Sebab bila kejujuran dan saling pengertian sudah terjadi antara kaum lelaki dan perempuan, kisah dominasi pun tak lagi ada. Penindasan berbasis gender pun usang dengan sendirinya.
Wassalam