Selasa, 03 Juli 2007

peranan kesetaraan pendidikan untuk kesetaraan gender

Oleh : Alida Wahyuni, SE

Abstraksi :
The Beijing Declaration and The Platform for Action, 1996 (Gender Education and Development, International Center of the ILO) : “pendidikan merupakan Hak Asasi Manusia, perkembangan dan kedamaian. Pendidikan yang tidak diskriminatif akan menguntungkan, baik bagi perempuan maupun laki-laki, yang pada akhirnya akan mempermudah terjadinya kesetaraan dalam hubungan antara perempuan dan laki-laki dewasa.” Gender sebagaimana didefinisikan secara umum adalah pembedaan peran dan tanggung jawab antara perempuan dan laki-laki sebagai hasil konstruksi sosial budaya masyarakat. Tataran bias gender banyak terjadi dalam berbagai bidang, termasuk dalam bidang pendidikan dan pembangunan. Dalam bidang pendidikan misalnya peran gender terjadi dalam hal mengakses lembaga pendidikan yang menyebabkan rendahnya tingkat partisipasi perempuan.

Pendahuluan
Manusia sebagai bagian dari kehidupan di bumi cenderung mempercayai bahwa kita hidup dengan kadar kebebasan yang signifikan, bahwa kita bebas memilih cara berperilaku, cara berfikir, dan memilih peran gender. Kita juga menganut pandangan umum dunia bahwa jalan kita untuk menjadi feminin ataupun maskulin merupakan sesuatu yang alami akibat langsung karena dilahirkan secara biologis sebagai laki-laki atau sebagai perempuan. Yang pasti, suatu masayarakat dapat memiliki beberapa naskah yag berbeda, kebiasaan yang berbeda, tetapi nilai inti dari suatu kultur, yang mencakup peran gender berlangsung dari generasi ke generasi seperti halnya bahasa. Salah satu yang paling menarik mengenai peran gender adalah, peran-peran itu sering berubah seiring waktu dan berbeda antara satu kultur dengan kultur lainnya.

Penafsiran tentang pengertian genderpun seringkali terjadi salah arti, pengertian gender dipersamakan dengan sex (jenis kelamin). Pembagian jenis kelamin laki-laki dan perempuan serta pembagian peran serta tanggung jawab yang telah berjalan dari tahun ke tahun bahkan dari abad ke abad, sehingga semakin lama akan semakin sulit dibedakan mana yang seks mana yang gender.

Gender adalah pembagian peran dan tanggung jawab keluarga dan masyarakat, sebagai hasil konstruksi sosial yang dapat berubah-ubah sesuai dengan tuntutan zaman. Gender bukan kodrat atau takdir Tuhan, tetapi gender berkaitan dengan keyakinan bagaimana seharusnya laki-laki dan bagaimana seharusnya perempuan berperan dan bertindak sesuai dengan tata nilai yang terstruktur, ketentuan sosial dan budaya ditempat mereka berada. Dengan kata lain gender adalah pembedaan peran dan tanggung jawab antara perempuan dan laki-laki sebagai hasil konstruksi sosial budaya masyarakat. (Kementerian Pemberdayaan Perempuan :2002).

Isu kesetaraan gender sejalan dengan perkembangan jaman yang didukung oleh perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi yang mendorong perkembangan ekonomi dan globalisasi informasi, yang memungkinkan kaum perempuan bekerja dan berperan sama dengan kaum lelaki. Hal yang sangat penting adalah bahwa kesetaraan gender itu harus didukung dengan perlindungan hukum dan berbekal pendidikan yang memadai, karena perjuangan kesetaraan gender yang hakiki adalah perjuangan kesetaraan gender dalam dunia pendikan dan perlindungan hukum. Ini dapat terlihat misalnya kasus kekerasan dalam rumah tangga yang sebagian besar terjadi pada perempuan (isteri) juga kasus Tenga Kerja Wanita yang bekerja di luar negeri yang seringkali pulang ke kampung halaman dengan membawa oleh-oleh luka di sekujur tubuh serta phobia ataupun traumatik yang sangat membekas. Kejadian seperti ini sangat berpotensial menghancurkan masa depan seorang perempuan yang notabene masih sangat muda juga bagi kaum TKW yang sudah berumah tangga dan memiliki anak. Bagaimana mungkin dapat mengasuh anak jika traumatik membayangi. kehidupannya.

Dapat terlihat jelas bahwasanya kejadian buruk yang seringkali menimpa kaum perempuan dikarenakan kurangnya pengetahuan atau pendidikan. Dengan perjuangan kesetaraan perempuan dalam dunia pendidikan diharapkan kasus kekerasan atau penganiayaan terhadap perempuan dapat terminimalisir ataupun tidak terulang lagi.
Perjuangan untuk menyuarakan kesetraan gender itu tidak akan betul-betul bisa terwujud apabila kesetraan gender dalam pendidikan belum bisa direalisasikan. Artinya perjuangan kesetraan gender harus dimulai dengan kesetaraan antara kaum perempuan dan kaum lelaki, sehingga mempunyai peluang yang sama untuk mengakses lapangan pekerjaan dan berperan dalam berbagai kehidupan.

Kesenjangan Pendidikan terhadap perempuan.
Pendidikan adalah kata kunci yang menjadi elemen penting dalam kehidupan bermasyarakat jika memang taruhannya adalah perkembangan dan kemajuan suatu bangsa. Tapi di sini juga persoalannya, karena nyatanya pendidikan bukan suatu yang bebas nilai dalam dirinya. Pendidikan adalah produk atau konstruksi sosial, dan celakanya ada jenis kelamin dalam masyarakat yakni perempuan yang tidak selalu diuntungkan akibat dari konstruksi tersebut.

Kesenjangan pada sektor pendidikan telah menjadi faktor utama yang paling berpengaruh terhadap kesenjangan gender secara menyeluruh. Hampir pada semua sektor, seperti lapangan pekerjaan, jabatan, peran di masyarakat, sampai pada masalah menyuarakan pendapat, antara laki-laki dan perempuan yang menjadi faktor penyebab terjadinya kesenjangan gender adalah karena latar belakang pendidikan yang belum setara. Dengan lebih rendahnya tingkat pendidikan penduduk perempuan akan menyebabkan perempuan belum bisa berperan lebih besar. Dengan demikian kesempatan pendidikan untuk semua harus dibuka seluas-luasnya dengan memajukan program-program sosialisasi kesetraan gender, agar masalah kesenjangan gender tidak terus berlangsung.

Gejala kesenjangan gender di bidang pendidikan terjadi lebih buruk pada negara-negara berkembang. Kesenjangan terjadi antara laki-laki dalam mengakses lembaga-lembaga pendidikan, sekolah atau lembaga pendidikan luar sekolah. Kesenjangan dalam akses menyebabkan rendahnya partisipasi perempuan dalam mengikuti berbagai jalur, jenis dan jenjang pendidikan. Lebih dari itu, perempuan belum mampu memainkan peran yang seimbang dibanding lawan jenisnya dalam proses pengambilan keputusan di bidang pendidikan, baik melalui lembaga-lembaga resmi maupun keluarga. Akibat lebih jauh, perempuan belum dapat menikmati hasil dan manfaat pendidikan untuk memberdayakan kehidupan mereka dibandingkan dengan yang telah dicapai oleh laki-laki.

Akibat kesenjangan pendidikan, perempuan yang terdiri atas setengah penduduk dunia masih merupakan segmen masyarakat yang belum diberdayakan sehingga kurang produktif. Kesenjangan gender di bidang pendidikan dianggap merupakan pelanggaran terhadap hak-hak asasi manusia yang perlu dieliminasi melalui upaya-upaya yang sistematis dan terprogram. Oleh karena itu, setiap negara termasuk Indonesia, telah mencanangkan komitmennya untuk mengurangi kesenjangan gender khususnya di bidang pendidikan.

Kesetaraan gender dianggap merupakan indikator terukur dari pembangunan pendidikan yang berkeadilan gender. Kesetaraan gender tidak seyogyanya diartikan bahwa perempuan berjuang untuk menjadi pesaing bagi laki-laki dalam pengelolaan dan pembangunan pendidikan, tetapi harus dianggap sebagai mitra sejajar. Kesetaraan gender di bidang pendidikan memberikan dampak signifikan terhadap kemajuan dalam pembangunan sektoral serta peningkatan produktifitas masayarakat.

Berdasarkan data statistik pendidikan pada tahun 2000/ 2001 menunjukkan bahwa kamajuan dalam upaya perluasan dan pemerataan pendidikan sudah mencapai angka partisipasi murni (APM) SD 94,96 % dan angka partisipasi kasar (APK) di SLTP 72,6 %. Upaya perluasan kesempatan belajar pada jenjang pendidikan yang lebih tinggi, yaitu pendidikan menengah hingga mencapai APK 37,6% dan pendidikan tinggi dengan APK 10%. Walaupun belum menggambarkan bahwa program wajib belajar pendidikan dasar 6 dan 9 tahun dimaksudkan untuk memperjuangkan kesenjangan gender, tetapi sifatnya netral gender leasure tidak membedakan akses terhadap pendidikan menurut gender. Namun dalam kenyataannya proporsi perempuan dalam partisispasi pendidikan masih ketinggalan di belakang laki-laki dalam menikmati kesempatan belajar. Sebagai contoh, sampai pada tahun 2001, angka melek huruf laki-laki sebesar 93,13% dan perempuan sebesar 85,46%.

Kesenjangan antara perempuan dan laki-laki juga dapat dilihat berdasarkan angka persentase penduduk usia 10 tahun ke atas menurut jenjang pendidikan. Berdasarkan data BPS, pada tahun 1999, penduduk perempuan yang berpendidikan SD sudah mencapai 33,4% yang bahkan sedikit lebih tinggi daripada laki-laki lulusan SD sebesar 32,5%. Perempuan yang berpendidikan SLTP 13% sedikit lebih rendah dari laki-laki yang berpendidikan Sekolah Menengah adalah 11,4% atau lebih rendah dari laki-laki yang berpendidikan sama yaitu sebesar 15,7%. Sementara itu, penduduk perempuan berpendidikan sarjana sudah mencapai 2,1 % yang masih lebih rendah dari penduduk laki-laki yang berpendidikan sarjana 3,2%.

Kesenjangan gender juga dapat dilihat dari angka partisisasi pendidikan. Berdasarkaan kelompok usia maupun jenjang pendidikan. Berdasarkan angka statistik pedidikan tahun 2001, APM SD sebesar 96,64% untuk laki-laki, dan sedikit lebih kecil untuk perempuan yaitu sebesar 94,34%, sedangkan APM SLTP sudah mengalamai kesetaraan gender walaupun dalam angka yang masih sama-sama rendah yaitu 56,62% laki-laki dan 56,3% untuk perempuan. Tahun ke tahun kesetaraan gender dalam bidang pendidikan di Indonesia terus mengalami perubahan yang lebih baik walaupun tidak secara signifikan hanya sedikit saja setiap tahunnnya, dan perubahan yang sedikit ini dipengaruhi baik secara langsung melalui kebijakan pemerintah dalam bidang pendidikan maupun faktor sosio-kultural yang sangat sulit untuk diubah dalam waktu yang relatif singkat.

Menurut Ace Suryadi (2004 : 22) bahwa analisa kesetaraan gender dalam bidang pendidikan pendidikan dan ketenagakerjaan dirumuskan sebagai berikut :
Mengajak untuk sama-sama berfikir dan mensosialisasikan kesetaraan gender khususnya kesetaraan dalam memanfaatkan kesempatan untuk mendapatkan pendidikan.
Memberikan gambaran yang lebih jelas melalui angka-angka statistik dan indikator pendidikan secara nasional maupun per satuan wilayah, serta gambaran per sektor yang menunjukkan adanya kesenjangan gender yang disebabkan karena alasan pendidikan.
Mempertegas upaya kesetaraan gender yang sudah berhasil dan yang masih perlu terus diupayakan dalam bidang pendidikan dan ketenagakerjaan berdasarakan jenjang, jenis dan jalur pendidikan mulai dari tingkatan SD dan yang sederajat sampai perguruan tinggi yang sederajat.
Dapat memberikan masukan yang akurat untuk penyusunan kebijakan pembangunan pendidikan dalam mewujudkan kesempatan pendidikan yang lebih merata pada semua jalur,jenis dan jenang pendidikan dengan memperhatikan kesetaraan gender.
Memacu peningkatan mutu dan efisiensi pendidikan melalui pemberdayaan potensi perempuan secara optimal,baik dalamkedudukan sebagai pengambilan keputusan, pengelola pendidikan, tenaga kependidikan maupun sebagai peserta didik.
Memberikan masukan dalam upaya memperkecil kesenjangan gender pada proses penjurusan, bidang keahlian, atau program studi yang ada pada jenjang pendidikan menengah kejuruan (SMK) dan perguruan tingi (PT) untuk mewujudkan kesetaraan gender dalam bidang keahlian dan profesionalisme.
Meningkatkan peluang bagi perempuan untuk memasuki semua jurusan atau program keahlian pada semua jenjang pendidikan, khususnya untuk program-program keahlian atau jurusan yang bias laki-laki, melalui perbaikan dalam sistem penerimaan siswa/ mahasiswa baru dan penjurusan, sehingga dapat menyeimbangkan proporsi siswa/ mahasiswa menurut gender.
Memberikan masukan dalam upaya meningkatakan keseimbangan jumlah guru dan tenaga kependidikan menurut gender serta partisispasi perempuan dalam kedudukannya sebagai pengambil keputusan di bidang pengelolaan pendidikan nasional, yang pada saat ini masih terdapat kesenjangan

Seperti yang tertuang dalam The Beijing Declaration and The Platform for Action, 1996 (Gender Education and Deelopment, International Center of the ILO) “pendidikan merupakan hak asasi manusia, perkembangan dan kedamaian. Pendidikan yang tidak diskriminatif akan menguntungkan, baik bagi perempuan maupun laki-laki, yang pada akhirnya akan mempermudah terjadinya kesetaraan dalam hubugan antara perempuan dan laki-laki dewasa.” Sebetulnya sudah ada basis legal yang mendukung kesetraan gender dalam pendidikan, maka seringkali pertanyaan-pertanyaan yang dilontarkan adalah “lalu, dimana persoalannya? Bukankah aturan-aturan yang ada mendukung kesetaraan gender dalam pendidikan?” tapi sebaliknya, mengapa justru aturan-aturan legal yang disepakati tetap meminggirkan perempuan dalam pendidikan?. Bila pemahaman tentang isu-isu perempuan tidak diperhitungkan maka kebijakan-kebijakan yang dihasilkan akan sangat tidak berguna dan bahkan bisa jadi menguatkan bias gender dalam pendidikan.

Salah satu ideologi paling kuat yang menyokong perbedaan gender adalah pembagian dunia ke dalam wilayah publik dan privat. Wilayah publik yang terdiri atas negara, pemerintahan, pendidikan, media, dunia bisnis, kegiatan perusahaan, perbankan, agama dan kultur, di semua hampir lapisan masayarakat di dunia ini didominasi laki-laki. Yang jelas, ada perempuan individu yang memasuki dan mungkin pada akhirnya memimpin wilayah publik tersebut. Suku, kelas, agama mungkin memainkan peran besar dalam memutuskan laki-laki mana yang menjalankan kekuasaan, tetapi akses perempuan terhadap kekuasaan senantiasa lebih kecil dibandingkan akses laki-laki dari latar belakang yang sama. Ini berimplikasi penting terhadap praktik pembangunan dan kemampuan perencana pembangunan untuk memastikan bahwa pembangunan tidak berat sebelah serta menguntungkan perempuan maupun laki-laki. Karena, perempuan tidak terwakili dengan semestinya dalam lingkup publik, mereka kurang mampu menajalankan kekuasaan dan mempengaruhi kesejahteraan gendernya. Ideologi publik dan privat cenderung mengandung makna bahwa lingkup pengaruh perempuan adalah rumah, baik itu rumah susun, rumah mewah ataupun gubuk dipedesaan atau dipinggiran kota. Dalam 20 tahun terakhir ada pengakuan yang semakin berkembang tentang arti penting lingkup ini dalam kepedulian utama komunitas dan keluarga, dan sentralisasi rumah tangga dalam menentukan peran dan ketidakadilan gender. Di seluruh dunia, perempuan sedang menuntut kembali atau pertama kalinya menuntut ruang publik, akses terhadap media ataupun pendidikan, pembentukan jaringan perempuan internasional, dan keterlibatan bertahap perempuan ke dalam kehidupan publik mulai menentang ideologi publik dan privat yang tidak menguntungkan kaum perempuan.

Perspektif Perempuan Tentang Pendidikan
Secara kultural, pendidikan bisa mengangkat derajat manusia masuk ke dunia modern dan melepaskan diri dari tahayul dan kepercayaan tradisonal. Pendidikan juga dapat menjadi dasar pembentukan kesadaran nasionalsime (berbangsa dan bernegara) sebagai faktor pendukung utama dalam pembangunan sebuah negara. Oleh karenanya isu gender dalam pembangunan telah sering diungkapkan pada bagian forum nasional maupun internasional. Dalam International Convention Of Population and Development (ICPD) di Cairo, isu kemiskinan dunia (poverty Issues) memperoleh sorotan yang meluas. Proporsi perempuan yang dominan di dalam segmen masyarakat miskin dunia berkorelasi searah dengan keterbelakangan pendidikan mereka. Tiga perempat dari penduduk buta huruf dunia adalah perempuan dan dua pertiga penduduk tersebut berada di asia. Masalah ini mendapat sorotan tajam dari berbagai kajian empiris yang puncaknya adalah dalam World Summit on Social Development (WSSD) terutama menyangkut masalah keterbelakangan penduduk minorotas, termasuk di dalamnya tentang perempuan. Berkaitan dengan keterbelakangan itu muncul sebuah gerakan dunia, yaitu gender and development (GAD). Gerakan ini mengikuti persfektif pembangunan nasional akan pentingnya kesetaraan perempuan dengan laki-laki dalam melaksanakan peran di berbagai bidang kehidupan untuk memacu produktifitas nasional.

Teori Feminisme dalam wacana pendidikan juga dapat diperhitungkan sebagai bagian yang memperjuangkan kesetaraan gender dalam dunia pendidikan, paling tidak ada empat teori besar feminisme yang secara singkat perlu dikemukanakn di sini yang dikaitkan dengan masalah pendidikan, antara lain (Jurnal Perempuan : Mei 2002)

Teori Feminsme Liberal.
Teori ini memfokuskan diri pada pertanyaan-pertanyaan mengapa anak perempuan banyak mengalami kegagalan meraih pendidikan tinggi. Mengapa mereka diarahkan ke jalur pendidika yang praktis? Feminisme liberal lebih berfokus pada persoalan akses ke pendidikan, peningkatan partisipasi sekolah pada anak perempuan, menyediakan program-program pelayanan bagi anak perempuan dari keluarga yang kurang beruntung dan melakukan penuntutan kesetaraan pendidikan yang sifatnya tidak radikal atau tidak mengancam
Teori Feminsme Radikal
Teori radikal mencari persoalan sampai keakar-akarnya bertolak belakang persepsi mereka dengan kaum feminis liberal. Kaum feminis radikal melihat penyebab utama adanya ketidakadilan bagi perempuan di dalam dunia pendidikan adalah karena sistem patriarkhal yang berlaku di masyarakat setempat. Selain itu, juga melihat hubungan-hubunga kekuasaan antara laki-laki dan perempuan, karena nya ini yang kemudian menentukan keterbelakangan perempuan perempuan di berbagai bidang.
Teori Feminsme Marxis dan Sosialis
Bagi teori ini, ketidaksetaraan dalam pendidikan terjadi karena institusi-institusi pendidikan justru menciptakan kelas-kelas ekonomi. Pendidikan telah dijadikan bisnis yang lebih melayani kelas ekonomi atas. Pendidikan telah kehilangan makna bukan untuk mencerdaskan bangsa melainkan untuk menguntungkan pendapatan pribadi. Hubungan kekuasaan antara ekonomi kuat dan ekonomi lemah terlihat gamblang sehingga kelompok miskin tereksploitasi dan berada dalam kebodohan terus menerus. Bahasa-bahasa yang sering digunakan dalam teori ini adalah yang berkaitan dengan kelas, produksi, kemiskinan dan seterusnya.
Teori Poststrukturalis dan Postmodernisme
Teori ini mengkritik definisi pendidikan yang lebih berpusat pada laki-laki (male-centered) tidak dipertanyakan lagi atau sudah dianggap wajar dan semestinya. Teori ini juga membongkar semua anggapan-anggapan yang diterima begitu saja. Konsentrasi yang dilakukan teori ini adalah melihat semua diskursus-diskursus yang ada (teks-teks) yang ada dalam dunia pendidikan yang melakukan operasi bawah sadar sehingga terjadi penaturalan bahasa-bahasa yang bias gender. Oleh sebab itu, teori ini bukan saja mengajak mereka yang berkepentingan dengan pendidikan untuk merubah kurikulum tetapi melihat bagaimana kurikulum bias gender terbentuk dan beroperasi secara luas.

Kesenjangan dalam Dunia Akademis
Dunia Akademis selama ini dianggap sebagai suatu institusi ilmiah yang memandang kesetaraan sebagai suatu hal yang harus diperjuangkan, ternyata dalam kenyataannya tidak bisa terhindar dari konstruksi sosial yang melahirkan ketidakadilan antara lelaki dan perempuan. Hal ini memberikan gambaran bahwa meskipun sebagian besar perempuan memilih profesi sebagai pengajar, dalam kenyataannya terjadi diskriminasi yang kurang menguntungkan bagi kaum perempuan.

Dalam dunia akademis, terminologi gender menciptakan diskriminasi dalam hal kesetaraan kesempatan dan prospek karir. Berdasarkan data penelitian yang dilakukan di United Kingdom University (Foster: 2000) menunjukkan bahwa dari sisi jumlah, kesempatan studi lanjutan, kepangkatan akademis, dan jabatan struktural, perempuan memiliki posisi inferior dibandingkan dengan lelaki.

Secara lisan, perempuan memiliki kesempatan dan prospek karir yang sama dengan pria. Tetapi dalam tatanan realita, tetap saja terjadi marginalisasi dan ketidakadilan terhadap perempuan yang bekerja dalam dunia akademis, khususnya sebagai tenaga pengajar. Dari sisi kuantitatif, pengajar pria lebih banyak dibandingkan perempuan. Meskipun konsep kekurangsetaraan tidak mutlak terukur dari sisi kuantitas. Dominasi pria dalam dunia akademis adalah suatu produk dari perkembangan sosial. Dalam sejarahnya, lelaki lebih berkesempatan untuk mengeyam pendidikan yang lebih tinggi dibandingkan perempuan, meskipun perkembangan selanjutnya banyak perempuan yang saat ini mengenyam pendidikan yang lebih tinggi. Namun hal itu tidak berpengaruh signifikan terhadap kondisi akademisi perempuan di perguruan tinggi. Subordinasi terhadap perempuan tetap terjadi di area tersebut. Proses seleksi dan promosi perempuan di dunia akdemis menempatkan laki-laki lebih menguntungkan dibandingkan perempuan.

Dalam hal promosi dan kesempatan studi lanjut, perempuan memang mendapatkan kesempatan tetapi kesempatan pertama tetap saja tertuju kepada akademisi pria. Begitu juga dengan masalah kebijakan, banyak peraturan yang memihak kepada perempuan dalam statusnya sebagai pengajar di dunia akademis, misalnya masalah tunjangan keluarga.

Perbedaan gender sesungguhnya tidak menjadi masalah sepanjang tidak melahirkan ketidakadilan gender. Persoalannya justru muncul ketika perbedaan gender telah melahirkan ketidakadilan yang termanifestasi dalam bentuk marginalisasi, proses pemiskinan ekonomi, subordinasi, streotype dan diskriminasi, pelabelan negatif, kekerasan, bekerja lebih banyak dan sebagainya.

Kecenderungan kuat yang menandai era pergeseran dominasi lelaki terhadap perempuan adalah banyaknya perempuan yang berada di wilayah-wilayah publik yang dulu “diamini” sebagai milik lelaki. Gerakan perempuan di dunia akademis timbul ketika muncul ketidakadilan dan diskriminsi serta diferensiasi. Budaya androsentris telah melahirkan suatu gender hirarki yang lebih memihak kaum lelaki untuk lebih memiliki kesempatan masuk ke ruang publik jika dibandingkan dengan perempuan. Ketika secara legal perempuan dapat disejajarkan dengan lelaki, dalam kenyataannya marginalisasi terhadap perempuan tetap terjadi. Seperti telah disebut bahwa perempuan menempati posisi inferior jika dibandingkan dengan lelaki. Selama ini, muncul estimasi yang lebih rendah terhadap kinerja perempuan. Kurangnya percaya diri serta tidak adanya dukungan dari lingkungan telah memperburuk situasi tersebut. Oleh karena itu, pergerakan perempuan di dunia akademis lebih difokuskan mengenai persamaan kesempatan serta prospek karir.

Beberapa hal yang diperlukan untuk mendukung persamaan kesempatan bagi perempuan antara lain adanya dukungan baik dari atasan maupun sesama akademisi perempuan. Selain itu, perempuan perlu membekali diri dengan berbagai ketrampilan serta membangun diri untuk berkomitmen pada pekerjaannya. Kadangkala hal ini menuntut pengorbanan, baik yang bersifat individu maupun keluarga. Dalam hal kompetensi, perempuan juga dituntut untuk meningkatkan kemampuannya, terutama dalam hal riset serta kemampuan untuk menghasilkan suatu karya ilmiah yang bisa dikenal orang lain. Dengan kata lain, faktor-faktor tersebut diperlukan untuk meningkatkan bargaining positioning bagi perempuan.

Kalaupun akan mencapai posisi eksekutif, seorang perempuan harus bekerja jauh lebih keras dibandingkan dengan lelaki karena seolah-olah harus memulai dari suatu titik negatif. Bagi laki-laki harus memulainya hanya dari titik nol, dan untuk mendapatkan selanjutnya adalah lebih mudah. Dan bagi perempuan, memulainya harus dari titik negatif, lalu mereka harus menghapus yang negatif sebelum mereka menuju titik nol. Dalam hal ini, perempuan harus menunjukkan jati dirinya dan dia harus bekerja lebih keras untuk diterima pada level yang sama dengan laki-laki.

Ketidaksetaraan gender menjadi semakin jelas terlihat dari gejala pengelompokan gender ke dalam jurusan, bidang kejuruan atau bidang-bidang keahlian yang berbeda-beda menurut jenis kelamin. Gejala ini berdampak buruk terhadap persaingan yang kurang sehat dalam hubungan antar gender yang mengakibatkan seluruh potensi peserta didik tidak akan dapat dikembangkan secara optimal.

PENUTUP

Main Streaming Gender atau pengarusutaman gender (PUG) merupakan perwujudan dari komitmen global penghormatan terhadap hak-hak asasi manusia, berkaitan dengan kesamaan kesempatan dan perlakuan bagi laki-laki dan perempuan dalam melaksanakan peran-peran politik, ekonomi, dan sosial budaya dalam masyarakat. PUG merupakan sebuah perspektif pembangunan nasional yang akan didukung oleh pendidikan yang cukup baik. (Ace Suryadi : 2004)
Namun, dalam bidang Pendidikan di Indonesia memang masih kurang menggembirakan, khususnya kaum perempuan. Pada sekolah tingkat dasar kesenjangan gender lebih disebabkan oleh faktor-faktor struktural yaitu perilaku masyarakat yang dipengaruhi oleh nilai-nilai sosial budaya dan ekonomi keluarga, yang lebih mementingkan pendidikan anak laki-laki daripada anak perempuan. Pada tingkat sekolah lanjutan dan menengah lebih disebabkan oleh faktor kebijaksanaan pendidikan.
Kurikulum dan buku ajar yang belum berlandaskan pada peran gender secara seimbang akan menyebabkan perempuan tetap tidak memiliki mentalitas sebagai warga masyarakat yang produktif. Penulis buku masih didominasi kaum laki-laki pada setiap mata pelajaran atau jenjang pendidikan akan menyebabkan proses pembelajaran menjadi bias laki-laki yang dapat mengurangi potensi perempuan untuk berkembang. Pengaruh sosio kultural masyarakat Indonesia masih menempatkan perempuan dalam posisi yang kurang strategis dalam pengambilan keputusan di bidang pendidikan. Rendahnya angka partisipasi perempuan dalam pendidikan akan mengakibatkan pendidikan enjadi kurang efisien walau proporsi perempuan yang melanjutkan pendidikan selalu lebih rendah daripada laki-laki, namun perempuan lebih mampu bertahan.
Tabel
Angka Bertahan menurut Gender tahun 2000-2001
No
Jenjang Pendidikan
Jenis Kelamin
Jumlah
Laki-laki
Perempuan
1
Sekolah Dasar (SD)
74,36
80,02
77,05
2
Sekolah Lanjutan Pertama (SLTP)
94,29
95,84
95,02
3
Sekolah Menengah (SM)
92,50
97,62
94,93

a. Sekolah Menengah Umum
92,59
98,82
95,71

b. Sekolah Menengah Kejuruan
92,39
95,44
93,70
Sumber : Pusat Data dan Informasi Pendidikan Balitbang-Depdiknas tahun 2001

Kesetaraan gender dalam pendidikan dipandang sangat penting karena sektor pendidikan merupakan sektor yang paling strategis untuk memperjuangkan kesetaraan gender. Dengan asumsi bahwa tidak ada bias gender dalam kebijakan-kebiajakan pemerintah khususnya dalam bidang pendidikan, artinya kesempatan untuk meningkatkan potensi sumber daya manusia baik laki-laki mapun perempaun sangat terbuka seluas-luasnya dengan peluang yang sama.

Karena itu, kesempatan berpendidikan yang lebih luas pada setiap jenjang pendidikan dengan memperhatikan kesetaraan gender harus segera diwujudkan. Perempuan juga harus diberdayakan potensinya baik sebagai pengembangan kurikulum, penulis buku, pengelola pendidikan, pelaksana pendidikan maupun sebagai peserta didik. Untuk mengarah pada keahlian profesionalisme ketimpangan gender juga harus diperkecil pada jurusan, bidang kejuruan atau program studi yang ada pada jenjang pendidikan menengah dan tinggi.

Pejabat pemerintah, terutama daerah, kepala sekolah dan guru-guru hendaknya lebih meningkatkan kesadaran gender dalam peran-peran gender yang lebih seimbang dalam proses pendidikan di sekolah. Juga peningkatan kesadaran gender terhadap masyarakat bahwa kesempatan yang sama di bidang pendidikan dan pekerjaan menurut gender sehingga dapat memacu produkivitas masyarakat. Keseimbangan jumlah tenaga pengajar perempuan serta partisipasi perempuan dalam kedudukannya sebagai pengambil keputusan di bidang pengelolaan pendidikan hendaknya lebih ditingkatkan.






Daftar Pustaka

Dr. Ace Suryadi, 2004, Kesetaraan Gender dalam Dunia Pendidikan. Genesindo, Bandung.
Maftuchah Yusuf, 2000, Perempuan Agama dan Pembangunan. Lembaga Studi dan Advokasi Pendidikan, Jakarta.
Jurnal Perempuan Edisi 23, 2002.
Profil Statistik dan Indikator Gender Propinsi DKI Jakarta tahun 2000,
Kementrian Pemberdayaan Perempuan, 2002, Apa itu Gender?.
Evelyn Suleeman, Pendidikan Wanita di Indonesia, Yayasan Obor Indonesia, 1995, Jakarta.

2 komentar:

Finance Creative mengatakan...

Tema tulisannya bagus, soalnya sampai saat ini masalah gender ini masih belum jelas. Terkadang isu gender dijadikan tools untuk mencapai kepentingan pribadi atau golongan, sehingga masyarakat menilai yang salah terhadap makna atau meksud gender itu sendiri.

Btw...bisa diringkas sedikit gak tulisannya, heheheh abis panjang amat.

alida's World mengatakan...

tks bas...gmn skripsinya? beres?

bas, masalah kesetaraan gender memang masih seringkali bias, terutama dari diri perempuan sendiri. karenanya pengetahuan ttg kesetaraan gender bukan hanya diberikan kpd perempuan, tetapi juga kepd kaum lelaki. ini didasari karena budaya patriariki di negri kita msaih cukup tinggi, sehingga pengambilan keputusan seorang perempuan (mis : ibu dlm RT) masih banyak diintervensi oleh kebijakan sang suami, bukan berdasarkan hasil diskusi atau kesepakatan bersama.
aku bangga dgn lelaki yg masih peduli dgn kesetaraan gender.

diringkas :-)...mmmhhh..nanti dicoba deh, soalnya ini aku copy dari tulisanku yg udah pernah dimuat di warta.